Senin, 10 Oktober 2011

NILAI DAN NORMA


BAB I
PENDAHULUAN

Manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lainnya, mereka selalu hidup berkelompok. Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setipa manusia akan tedorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya – bahaya tersebut. Dalam hidup berkelompok inilah terjadi interaksi antar manusia. Dalam interaksi tersebut, setiap individu bertindak sesuai dengan kedudukan, status sosial dan peran yang mereka miliki masing – masing. Tindakan manusia dalam interaksi sosial tersebut senantiasa di dasari oleh nilai dan norma yang berlaku dimasyarakat.
Nilai dan norma dalam masyarakat memang sudah ada sejak dahulu hingga saat ini. Walaupun pada awalnya nilai dan norma itu terbentuk secara tidak disengaja, namun lama kelamaan nilai dan norma tersebut dibuat secara sadar. Hal ini terjadi disebabkan oleh karena  manusia adalah makhluk budaya dan makhluk sosial.Sebagai makhluk sosial manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya, yang artinya manusia itu hidup dalam interaksi dengan sesamanya. Manusia pada umumnya saling membutuhkan sesamanya baik secara jasmaniah (segi – segi ekonomis) maupun rohaniah (sosial dan cinta).
Dalam proses interaksi inilah diperlukan nilai – nilai yang merupakan faktor inherent antar hubungan sosial itu. Celcius mengatakan “Ubi societas ibi ius” yang artinya dimana ada masyarakat, disana ada hukum. Hukum ialah nilai – nilai atau norma – norma untuk mengatur antar hubungan sosial manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa tiada hubungan sosial tanpa nilai dan norma dan tidak ada nilai – nilai tanpa hubungan sosial. Dengan perkataan lain nilai dan norma adalah fungsi hubungan sosial, artinya didalam hubungan sosial mutlak adanya nilai dan norma.
Nilai dan norma yang baik tentu melalui proses pembiasaan yang baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan prilaku yang baik. Namun pada kenyataannya nilai dan norma yang ada sekarang ini ada nilai dan norma yang buruk misalnya merokok, minum - minuman keras namun dianggap sebagai nilai dan norma yang baik. Hal ini ada hubungannya dengan dunia pendidikan pada masa lalu baik yang diperoleh di rumah ,di sekolah ,maupun dan lingkungannya.
             Dan perilaku yang dibenarkan bukan berarti seluruhnya berada pada ketentuan nilai yang baik. Tetapi sebagai aktivitas pendidik, kita tidak mampu mengubah perilaku peserta didik ke arah nilai yang baik, tanpa memberi contoh atau suri tauladan bagi peserta didik. Disinilah peran kita sebagai pendidik menjadi sangat penting. Pendidikan dalam hubungannya dengan nilai dan norma tidak saja supaya anak mengerti, memahami, dan sadar akan nilai – nilai sosial. Melainkan agar mereka dapat melaksanakan nilai dan norma tersebut secara loyal, demi ketertiban sosial, dan demi kesejahteraan batin (tidak adanya konflik dan rasa berdosa) di dalam jiwa mereka.
            Kita berharap dengan pendidikan dapat mengubah perilaku peserta didik menjadi perilaku insan yang Pancasilais yaitu sopan dan santun dalam bersikap dan bertindak maupun dalam menyampaikan aspirasinya sehingga dapat diterima oleh siapa saja baik masyarakat di sekitarnya, masyarakar luas maupun pemerintah. Pemberian teladan oleh guru sebenarnya  tidak cukup untuk mengubah nilai buruk menjadi nilai baik dalam diri seorang siswa. Tetapi dibutuhkan kerja sama yang solid  (bahu membahu) antara siswa, guru, orang tua dan seluruh lembaga yang ada di negara ini untuk mengawal dan menghantarkan generasi muda  menjadi insan yang bernilai baik. Selain itu perlu kita ketahui bahwa lingkungan sekitar juga dapat menjadi faktor seseorang memiliki norma dan nilai yang baik.


.
BAB II
PEMBAHASAN

  1. NILAI
Segala sesuatu yang ada di alam semesta, langsung atau tidak langsung, disadari ataupu tidak disadari oleh manusia, mengandung nilai – nilai tertentu. Matahari dan bintang, panas dan air, udara dan cahaya, tumbuh -  tumbuhan dan hewan, semuanya mempunyai nilai bagi kehidupan manusia. Demikian pula yang abstrak seperti cinta sesama, kejujuran, kebajikan, pengabdian, keadilan dan sebagainya adalah perwujudan nilai – nilai di dalam dunia budaya manusia.
1.      Pengertian nilai
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggapa buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut oleh masyarakat.
Oleh karena itulah tidak mengherankan apabila antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Hal ini dapat kita lihat pada tata nilai kehidupan pada masyarakat perkotaan dan masyarakat tradisional. Masyarakat yang tinggal diperkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan – pembaharuan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun temurun.
Karena bervaiasinya pengertian nilai, sulit untuk mencari kesimpulan yang komprehensif agar mewakili setiap kepentingan dan berbagai sudut pandang, tetapi ada hal yang disepakati dari semua pengertian nilai tersebut, bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Untuk melihat sejauh mana variasi  pengertian nilai tersebut, di bawah ini dikemukakan beberapa defenisi nilai yang diharapkan dapat mewakili berbagai sudut pandang.
1)      Woods
Mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara apda masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.   

2)      Drs. Suparto
Mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.          




3)      Kimball Young
Mengemukakan nilai sosial adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat.          

4)      A.W.Green
      Nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai
emosi terhadap objek.

5)      M.Z.Lawang         
      Menyatakan nilai adalah gambaran mengenai apa yang
diinginkan,yang pantas, berharga,dan dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut .

6)      D.Hendropuspito.            
      Menyatakan nillai sosial adalah segala sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan manusia.  

7)      Karel J. Veeger
Menyatakan sosiologi memandang nilai – nilai sebagai pengerian – pengertian (sesuatu di dalam kepala orang) tentang baik tidaknya perbuatan – perbuatan. Dengan kata lain, nilai adalah hasil penilaian atau perimbangan moral.

8)      Jack R. Fraenkel
Nilai adalah gagasan, konsep,tentang sesuatu yang dipandang penting oleh seseorang dalam hidup.

9)      Layso
Nilai bagi manusia merupakan landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya


2.      Ciri - ciri  nilai sosial
Ada beberapa pandangan tentang nilai:
a.       Nilai bersifat Objektif
Pandangan ini menganggap bahwa nilai suatu objek itu melekat pada objeknya dan tidak tergantung pada subjek yang menilai.maksudnya,setiap objek itu memiliki nilai sendiri,meskipun tidak diberi nilai oleh seseorang/subjek.
                  b.    Nilai bersifat Subjektif.
Pandangan ini beranggapan bahwa nilai dari sesuatu itu tergantung pada orang/subjek yang menilainya.suatu objek yang sama dapat mempunyai nilai yang berbeda bahkan bertentangan bagi orang yang satu dengan orang lain.suatu objek yang sama dapat dinilai baik atau buruk,benar atau salah,serta berguna atau tidak berguna tergantung pada subjek yang menilainya.
Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (1986) adalah Sebagai berikut.
a)      Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Yang dapat kita indra adalah kejujuran itu.
b)      Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan.
c)      Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya. Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.
Selain sifat – sifat di atas nilai sosial juga memiliki beberapa ciri - ciri di antaranya adalah sebagai berikut.
    • Merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antarwarga masyarakat
    • Disebarkan diantara warga masyarakat (bukan bawaan lahir).
    • Terbentuk melalui sosialisasi (proses belajar)
    • Merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial manusia.
    • Bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain.
    • Dapat mempengaruhi pengembangan diri sosial
    • Memiliki pengaruh yang berbeda antarwarga masyarakat.
    • Cenderung berkaitan satu sama lain dan membentuk sistem nilai

3.      Jenis - jenis nilai
Berdasarkan ciri-cirinya, nilai dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu nilai dominan dan nilai mendarah daging ( internalized value ).
(1)   Nilai dominan
Nilai dominan adalah nilai yang dianggap lebih penting daripada nilai lainnya. Ukuran dominan tidaknya suatu nilai didasarkan pada hal-hal berikut.
o  Banyak orang yang menganut nilai tersebut. Contoh, sebagian besar anggota masyarakat menghendaki perubahan kearah yang lebih baik disegala bidang seperti politik , ekonomi, hukum, dan sosial.
o  Berapa lama nilai tersebut telah dianut oleh anggota masyarakat.
o  Tinggi rendahnya usaha orang untuk dapat melaksanakan nilai tersebut. Contoh,orang Indonesia pada umumnya berusaha pulang kampung (mudik) di hari-haribesar keagamaan, seperti Lebaran atau Natal.
o  Prestise atau kebanggaan bagi orang yang melaksanakan nilai tersebut. Contoh,memiliki mobil dengan merek terkenal dapat memberikan kebanggaan atauprestise tersendiri.

(2)   Nilai mendarah daging (internalized value)
Nilai mendarah daging adalah nilai yang telah menjadi kepribadian dan kebiasaan sehingga ketika seseorang melakukannya kadang tidak melalui proses berpikir ataupertimbangan lagi (bawah sadar). Biasanya nilai ini telah tersosialisasi sejak seseorang masih kecil. Umumnya bila nilai ini tidak dilakukan, ia akan merasa malu, bahkan merasa sangat bersalah.
Contoh, seorang kepala keluarga yang belum mampu memberi nafkah kepada keluarganya akan merasa sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab.Demikian pula, guru yang melihat siswanya gagal dalam ujian akan merasa gagal dalam mendidik anak tersebut.Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segalatingkah laku dan perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan danpandangan hidup seseorang dalam masyarakat.

                                                Berdasar kan sifatnya nilai dibagi menjadi empat, antara lain adalah sebagai berikut :
(a)        Nilai Etika merupakan nilai untuk manusia sebagai pribadi yang  utuh,misalnya kejujuran. Nilai tersebut saling berhubungan dengan akhlak,nilai ini juga berkaitan dengan benar atau salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat.nilai etik atau etis sering disebut sebagai nilai moral, akhlak, atau budi pekerti. Selain kejujuran, perilaku suka menolong, adil, pengasih, penyayang, ramah dan sopan termasuk juga ke dalam nilai ini sanksinya berupa teguran, caci maki, pengucilan, atau pengusiran dari masyarakat.

(b)       Nilai Estetika atau nilai keindahan sering dikaitkan dengan benda, orang, dan peristiwa yang dapat menyenangkan hati (perasaan). Nilai estetika juga dikaitkan dengan karya seni. Meskipun sebenarnya semua ciptaan tuhan juga memiliki keindahan alami yang tak tertandingi. 

(c)        Nilai Agama berhubungan antara manusia dengan tuhan,kaitannya dengan pelaksanaan perintah dan larangannya.Nilai agama diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan yang bermanfaat baik didunia maupun di akhirat,seperti rajin beribadah,berbakti kepada orangtua,menjaga kebersihan,tidak berjudi dan tidak meminum-minuman keras,dan sebagainnya.bila seseorang melanggar norma/kaidah agama,ia akan mendapatkan sanksi dari Tuhan sesuai  dengan keyakinan agamanya masing-masing.oleh karena itu,tujuan norma agama adalah menciptakan insan-insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,dalam pengertian mampu melaksanakan apa  yang menjadi perintah dan meninggalkan apa yang dilarangannya.adapun kegunaan norma agama,yaitu untuk mengendalikan sikap dan perilaku setiap manusia dalam kehidupannya agar selamat di dunia dan di akhirat.

(d)       Nilai sosial berkaitan dengan perhatian dan perlakuan kita terhadap sesama manusia di lingkungan kita.nilai ini tercipta karena manusia sebagai mahkluk sosial.manusia harus menjaga hubungan diantara sesamannya,hubungan ini akan menciptakan sebuah keharmonisan dan sikap saling membantu.kepedulian terhadap persoalan lingkungan,seperti kegiatan gotong-royong dan menjaga keserasian hidup bertetangga,merupakan contoh nilai sosial.

Berdasarkan proses terbentuknya, nilai dapat diklasifikasikan menjadi enam macam, yaitu :
v  Nilai teori
Kegiatan untuk mengetahui identitas benda serta kejadian yang ada disekitarnya
akan melahirkan nilai teori.teori ini muncul dengan diawali fenomena yang terjadi,kemudian dilakukan sebuah pengamatan.untuk mengetahui identitas mahkluk hidup maka hasilnya adalah pengetahuan tentang mahkluk hidup,seperti kehidupan flora dan fauna.



v  Nilai Ekonomi
Kegiatan untuk menilai kegunaan benda-benda untuk memenuhi kebutuhan akan melahirkan nilai ekonomi.nilai ekonomi berkaitan dengan ketersediaan kecukupan sarana pemenuhan kebutuhan hidup.

v  Nilai Religi
Kepercayaan yang manusia anut atau agama

v  Nilai Estetis
Nilai estetis terbentuk bila manusia memahami yang indah melalui intuisi dan imajinasinya.

v  Nilai Sosial
Nilai sosial terbentuk bila orientasi(arah)penilaian tertuju pada hubungan antar manusia,yang menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur.

v  Nilai Politik
Apabila tujuan penilaian berpusat pada kekuasaan dan pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat,akan terbentuk nilai politik.

4.      Hierarki nilai
Nilai berhubungan erat dengan kegiatan manusia untuk menilai. Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya kemudian diambil suatu keputusan. Keputusan nilai dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar dan baik atau buruk. Penilaian ini dihubungkan dengan unsur – unsur atau hal yang ada pada manusia, seperti jasmani, cipta, karsa, rasa dan keyakinan. Sesuatu dipandang bernilai karena sesuatu itu berguna, maka disebut nilai kegunaan, bila benar dipandang bernilai disebut nilai kebenaran, baik dipandang bernilai maka disebut nilai etis (moral).
Oleh karena itu, nilai itu memiliki polaritas dan hierarki. Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai material. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai - nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
(1)        nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
(2)        nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
(3)        nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
(4)        nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Sedangkan Prof. Notonegoro membagi hierarki nilai menjadi tiga, yaitu sebagai berikut :
Ø    Nilai Material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. Contohnya adalah makanan, minuman dan pakaian.
Ø   Nilai Vital, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala  sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas. Contoh nilai vital adalah kalkulator bagi bendahara kelas, buku paket bagi siswa saat belajar dan motor bagi tukang ojek.
Ø    Nilai Kerohanian, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia. Contohnya adalah berdzikir mengingat Allah, membaa Al – Qur’an dan shalat. Nilai kerohanian meliputi :
(i)                 Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia.
(ii)               Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan (emotion) manusia.
(iii)             Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa, Will) manusia.
(iv)             Nilai religius yang merupakan nilai keohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Sedangkan di Indonesia (khususnya pada dekade penataran p4) hierarki nilai juga dibagi menjadi tiga, yaitu:
(a)              Nilai dasar
Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan obyektif dari segala sesuatu. Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda ((kuantitas, aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.


(b)              Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran Pancasila.

(c)               Nilai Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai tersebut diatas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud dari nilai praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.

Dari gambaran hierarki nilai dapat disimpulkan bahwa nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak bagi manusia. Terdalam dalam arti lebih hakiki dan lebih bersifat kepentingan – kepentingan transenden dalam bentuk – bentuk ideal yang dapat dipikirkannya, sedangkan nilai yang semakin rendah lebih bersifat sementara, tergantung pada indrawi manusia dan lebih bersifat pragmatis untuk memuaskan jasmani manusia (atau dalam bahasa agama memuaskan nafsu semata).

5.      Fungsi Nilai Sosial
Adapun fungsi nilai sosial bagi kehidupan manusia diantaranya adalah sebagai berikut :
·      Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-cita atau harapan,
·      Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan pilihan, sarana untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam suatu unit sosial,
·                               Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya
·                               Memberikan harapan yang baik, sikap mandiri, dan bertanggungjawab
·                               Mengarahkan cara berperasaan, berpikir, berkehendak, dan bertindak
·      sebagai landasan , alasan , atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatan seseorang .
Menurut Drs. SUPRAPTO , fungsi nilai sosial adalah sebagai berikut :
1.      Dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk menetapkan harga sosial dari suatu kelompok .
2.      Dapat mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku
3.      Sebagai penentu terakhir manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial
4.      Sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok .
5.      Sebagai alat kontrol atau pengawas perilaku manusia dengan daya pengikat dan daya penekan tertentu agar orang mau berperilaku sesuai dengan yang diinginkan sistem nilai tertentu .

  1. NORMA
Manusia  dilahirkan  dan  hidup  tidak terpisahkan satu sama lain, melainkan berkelompok hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar.  Setiap manusia  akan  terdorong melakukan  berbagai  usaha   untuk  menghindari  atau melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu. Dalam    hidup   berkelompok   itu   terjadilah    interaksi antar manusia. Interaksi yang kita lakukan pasti ada kepentingannya, sehingga bertemulah  dua   atau  lebih   kepentingan.  Pertemuan kepentingan tersebut disebut  “kontak“.  Menurut  Surojo Wignjodipuro, ada dua macam kontak, yaitu :
a.         Kontak yang menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentinganyang bertemu saling memenuhi. Misalnya, penjual bertemu dengan pembeli.
b.        Kontak yang tidak menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentingan yang bertemu bersaingan atau berlawanan.   Misalnya,   pelamar  yang bertemu dengan pelamar yang lain, pemilik barang bertemu dengan pencuri.
Kata Indonesia “norma” sama persis dengan bentuknya dalam bahasa asalnya, bahasa latin. Dalam bahasa latin artinya adalah carpenter’s square yaitu siku – siku, suatu alat perkakas yang dipakai tukang kayu untuk mencek apakah benda yang dikerjakanya (meja, bangku, kursi dan sebagainya) benar – benar lurus. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan jadi norma adalah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolak ukur untuk menilai sesuatu.
Secara terminologi kita dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret.
Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis
Agar hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, dirumuskanlah norma – norma masyarakat. Pada awalnya norma – norma itu terbntuk secara tidak sengaja, namun lama – kelamaan norma tersebut dibuat secara sadar. Contohnya adalah perihal perjanjian tertulis yang menyangkut pinjam meminam uang yang dahulu tiak pernah dilakukan. Norma – norma yang ada di masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda – beda. Ada norma yang lemah, yang sedang, sampai yang terkuat daya ikatnya. Pada yang terakhir, umumnya anggota – anggota masyarakat tidak berani melanggarnya.
1.      Pengertian Norma
Kalau nilai merupakan pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, maka norma merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat  apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat.
Norma merupakan hasil cipta manusia sebagai makhluk sosial untuk mengatur hubungan sosial agar dapat berlangsung dengan lancar sehingga menimbulkan suasana yang harmonis. Di dalam kehidupan masyarakat, norma berisi tata tertib, aturan, petunjuk standar mengentai perilaku yang pantas atau wajar. Pelanggaran terhadap norma akan mendatangkan sanksi, dari bentuk cibiran atau cemoohan sampai ke sanksi fisik dan psikis berupa pengasingan atau di usir. Norma merupakan bentuk nilai yang disertai dengan sanksi tegas bagi pelanggarnya. Norma merupakan ukuran yang dipergunakan oleh masyarakat apakah perilaku seseorang bernar / salah, sesuai / tidak sesuai, wajar / tidak, dan diterima atau tidak. Norma dibentuk di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial. Nilai dan norma merupakan hal yang berkaitan. Norma adalah bentuk konkret dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Misalnya, nilai menghormati dan mematuhi orang tua diperjelas dan dikonkretkan dalam bentuk norma-norma dalam bersikap dan berbicara kepada orang tua. Nilai-nilai sopan santun di sekolah dikonkretkan dalam bentuk tata tertib sekolah. Jadi, pengertian norma adalah patokan-patokan atau pedoman untuk berperilaku di dalam masyarakat.
Dalam sosiologi norma adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan sosialnya. Sanksi yang diterapkan oleh norma ini membedakan norma dengan produk sosial lainnya seperti budaya dan adat. Ada / tidaknya norma diperkirakan mempunyai dampak dan pengaruh atas bagaimana seseorang berperilaku.
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Berdasarkan pengertian – pengertian di atas maka norma sosial atau norma masyarakat memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
-          umumnya tidak tertulis;
-          hasil dari kesepakatan masyarakat;
-          warga masyarakat sebagai pendukung sangat menaatinya;
-          apabila norma dilanggar maka yang melanggar norma harus menghadapi sanksi;
-          norma sosial kadang-kadang bisa menyesuaikan perubahan sosial, sehingga norma sosial bisa mengalami perubahan.

2.      Proses Terbentuknya Norma
Dalam kehidupannya, manusia sebagai mahluk sosial memiliki ketergantungan dengan manusia lainnya. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok, baik kelompok komunal maupun kelompok materiil. Kebutuhan yang berbeda-beda, secara individu/kelompok menyebabkan benturan kepentingan. Mengingat banyaknya kepentingan, terlebih kepentingan antar pribadi, tidak mustahil terjadi konflik antar sesama manusia, karena kepentingannya saling bertentangan. Agar kepentingan pribadi tidak terganggu dan setiap orang merasa merasa aman, maka setiap bentuk gangguan terhadap kepentingan harus dicegah. Manusia selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan tertib, aman, dan damai, yang menjamin kelangsungan hidupnya.
Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya, harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial. Menurut Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen “man is a social  and politcal  being artinya manusia itu adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam  kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat sebagai mahluk   sosial itu selalu berorganisasi.              
Kehidupan dalam kebersamaan (ko-eksistensi) berarti adanya hubungan antara manusia   yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang   dimaksud dengan hubungan sosial (social relation) atau relasi  sosial. Yang dimaksud hubungan sosial  adalah  hubungan   antar subjek yang saling menyadari kehadirannya masingmasing. Dalam hubungan sosial  itu  selalu  terjadi  interaksi social yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial (a web of social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.
Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat.
Untuk menghindari benturan – benturan, ketidaksesuaian dan ketidak tertiban  itulah  maka kelompok masyarakat membuat norma sebagai pedoman perilaku dalam menjaga keseimbangan kepentingan dalam bermasyarakat.

3.      Jenis – Jenis Norma
Norma merupakan suatu aturan-aturan yang berisi perintah,larangan,dan sanksi-sanksi bagi yang melanggarnya.pada dasarnya norma merupakan nilai,tetapi disertai dengan sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong bahkan menekan perorangan,kelompok,atau masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.
Norma sosial adalah aturan, standar ( patokan ) yang dipergunakan oleh anggota masyarakat sebagai petunjuk, perintah, anjuran dan larangan. Dalam perkembangannya suatu norma sosial akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Norma-norma sosial tersebut oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan dari diberlakukannnya suatu norma  pada dasarnya adalah untuk menjamin terciptannya ketertiban dalam masyarakat. Ada 2 norma yang mengatur masyarakat , yaitu :
1. Norma formal yang bersumber dari lembaga masyarakat .
2. Norma non formal biasanya tidak tertulis dan jumlahnya lebih banyak .
Secara umum kita dapat membedakan norma menjadi dua norma yaitu:
(a)    Norma khusus adalah aturan yang berlaku dalam kegiatan atau kehidupan khusus , misalnya aturan olahraga, aturan pendidikan atau aturan sekolah, dan sebagainnya.
(b)   Norma umum,adalah norma yang bersifat umum atau universal.

Didalam kehidupan masyarakat terdapat beberapa macam norma - norma (aturan - aturan) yang mengatur perilaku anggota masyarakat,yaitu sebagai berikut:

(1)   Norma Agama
Norma agama merupakan atuaran-aturan yang mutlak kebenarannya karena   aturan-aturan tersebut berasal dari Tuhan Yang Mahakuasa.Kebenaran norma adalah mutlak.hal ini disebabkan oleh aturan dan sanksinya diciptakan  oleh Tuhan Yang Mahakuasa.Norma agama berisi petunjuk Tuhan yang berupa perintah(kewajiban dan anjuran),larangan dan sanksinya bagi yang melanngar adalah di akhirat.

(2)   Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan merupakan aturan-aturan yang bersumber dari suara hati nurani manusia berupa perintah dan larangan hati nurani manusaia.contohnya kita harus jujur,mencintai sesama manusia,tidak boleh berbohong,dan tidak boleh menyakiti hati orang lain.Seorang yang melanggar norma ini akan menerima sanksi berupa perasaan tidak tentram,resah,gelisah dan sebagainya.

(3)   Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah peraturan hidup yang mengatur sikap dan tingkah laku manusia dalam masyarakat.norma ini berisi perintah masyarakat yang harus dilaksanakan dan larangan masyarakat tidak boleh dilakukan.contohnya antara lain:
·         Jangan meludah sembarangan tempat.
·         Berbicara dengan orangtua berbahasa halus dan sopan.
·         Mengucapkan salam bila bertemu orang lain.
Pelanggarannya terhadap norma kesopanan akan menimbulkan sanksi dari masyarakat yang terwujud dalam bentuk teguran,caci maki,cemooh,diasingkan dari pergaulan,dan sebagainnya.

(4)   Norma Kebiasaan
Norma ini merupakan hasil dari perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Orang-orang yang tidak melakukan norma ini dianggap aneh oleh anggota masyarakat yang lain. Kegiatan melakukan acara selamatan, kelahiran bayi dan mudik atau pulang kampung adalah contoh dari norma ini.
(5)   Norma Hukum
Norma hukum adalah seperangkat peraturan yang dibuat oleh negara atau badan yang berwenang. Norma hukum berisi perintah negara yang dilaksanakan dan larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga negara.sifat dari norma ini adalah tegas dan memaksa.
Sifat”memaksa”dengan sanksinya yang tegas inilah yang merupakan kelebihan dari norma hukum,jika dibandingkan dengan norma-norma yang lainnya.demi tegaknya hukum,negara mempunyai lembaga beserta aparat-apratnya di bidang penegakan hukum seperti polisi,jaksa,dan hakim.bila seseorang melanggar hukum,ia akan menerima sanksinya berupa hukuman misalnya hukuman mati,penjara,kurungan,dan denda. Adapun unsur-unsur atau  ciri-ciri norma hukum adalah:
·         peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
·         peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
·         peraturan yang bersifat memaksa
·         sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas
·         berisi perintah dan larangan
·         peraturan itu harus dipatuhi dan ditaati oleh setiap orang.
Timbulnya norma hukum dalam masyarakat suatu negara, karena norma adat, norma agama, dan norma kesusilaan, dan dirasakan belum cukup untuk menjamin adanya suatu ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Selain itu,dalam norma tersebut tidak adanya suatu paksaan dari alat-alat negara. Akibatnya seringkali orang mengabaikan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Jadi, norma diadakan agar ditaati oleh masyarakat.
Hukum merupakan norma yang bersifat formal,berupa aturan tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan memiliki sanksi yang tegas dan memaksa. 
 Sumber-sumber hukum antara lain:

a.Undang-Undang
Undang-undang mempunyai dua pengertian,yaitu dalam arti formal dan material.undang-undang dalam arti formal,atau kebiasaan disebut juga undang-undang dalam arti sempit ialah setiap peraturan dan ketetapan yang dibentuk oleh alat kelengkapan negara yang diberi kekuasaan membentuk undang-undang.
Undang-undang dalam arti material atau disebut juga undang-undang dalam arti luas,yaitu setiap peraturan atau ketetapan yang isinya berlaku mengikat umum(setiap orang tanpa membedakan).biasanya undang-undang yang bersifat formal atau material,baik karena bentuknya  maupun karena isinya mengikat umum.akan tetapi,tidak setiap undang-undang mempunyai dua arti mungkin hanya mempunyai arti formal atau hanya mempunyai arti material saja,misalnya undang-undang tentang naturalisasi hanya merupakan undang-undang dalam arti formal saja,sebab meskipun bentuknya dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan DPR namun isinya hanya mengikat kepada orang yang bersangkutan,yaitu orang yang di naturalisasikan.Sebaliknya,peraturan pemerintah yang merupakan undang-undang dalam arti material,namun tidak mempunyai arti formal karena tidak dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan DPR.agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan berlaku mengikat,syaratnya harus diundangkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Sekretaris Negara.setiap undang-undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara,berlakulah “fictie hukum”,yaitu setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang.
Berakhirnya suatu undang-undang jika:
1) jangka waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang telah lampau
2) keadaan atau hal dimana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi
3) Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau   instansi yang lebih tinggi.
4).telah diadakan undang-undang yang baru isinya bertentangan dengan undang-undang yang dulu berlaku.

b.Kebiasaan
Hukum kebiasaan adalah himpunan kaidah yang meskipun tidak ditentukan oleh badan-badan perundangan tetap ditaati juga.suatu hukum kebiasaan agar dapat ditaati,harus memenuhi syarat-syarat,yaitu:
1)   adanya perbuatan yang tetap dilakukan orang
2) adanya keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena merupakan kewajiban.

c. Keputusan Hakim(Yurisprudensi)
Yurisprudensi adalah keputusan hakim yang terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim mengenai masalah yang sama. Ada 3 alasan mengapa seorang hakim mengikuti keputusan hakim lain yaitu:
1)      keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan,terutama bila keputusan itu dibuat oleh Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi,karena secara psikologis,seorang hakim akan menuruti keputusan hakim lain yang kedudukannya lebih tinggi.
2)    alasan praktis
3)    hakim mengikuti keputusan hakim lain karena ia menyetujui keputusan hakim lain itu,yaitu karena adanya persamaan pendapat.

d.Traktat
Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antara dua atau lebih negara.bila traktat diadakan hanya dua negara saja,perjanjian itu adalah perjanjian bilateral,sedangkan apabila perjanijian itu diikuti oleh banyak negara,perjanjian itu disebut perjanjian multilateral.kita mengenal dua perjanjian yaitu traktat dan agreement.traktat dibuat oleh presiden dengan persetujuan DPR,sedangkan agreement dibuat dengan keputusan Presiden dan biasanya hanya menyangkut masalah politik saja. Suatu traktat berlaku dan mengikat dan mengikat keras karena didasarkan pada asas”Pacta Sunt Servanda”,traktat itu mengikat dan berlaku sebagai peraturan hukum terhadap warga negara dari masing-masing negara yang mengadakan traktat tersebut.

e. Pendapat Para Sarjana(Doktrin)
pendapat para sarjana yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.dalam yurisprudensi dapat kita ketahui bahwa seorang hakim sering berpegang pada pendapat seseorang atau beberapa sarjana hukum yang terkenal.Jadi pendapat para sarjana ini dapat menjadi sumber hukum melalui Yurisprudensi.
                  
Dilihat dari tingkat sanksi atau kekuataan daya pengikatnya, norma - norma sosial dibagi menjadi tata cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), adat - istiadat (customs), dan hukum (laws).
(1)   Tata Cara(usage)
Proses interaksi yang terus-menerus akan melahirkan pola-pola tertentu yang dinamakan tata  cara (usage). Cara lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat.Tata cara merupakan norma yang menunjukan pada suatu bentuk perbuatan dengan sanksinya ringan terhadap pelanggarnya dibandingkan norma lainnya, hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya. Misalnya , pada waktu makan bersendawa atau mendecak,tidak mencuci tangan sebelum makan,dan sebagainya.pelanggaran terhadap norma ini tidak akan mengakibatkan sanksi berat, melainkan hanya sekedar celaan atau dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.

(2)   Kebiasaan(folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kebiasaan memiliki kekutan yang  lebih besar daripada tata cara, misalnya memberikan salam pada waktu bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih tua, membuang sampah pada tempatnya , berterima kasih atas pemberian orang lain, dan sebagainya. Sanksinya  yang akan diterima bagi pelanggarannya dapat berupa teguran, sindiran, digunjingkan,dan dicemooh.
Kebiasaan yang diartikan sebagai perbuatan yang diulang – ulang daam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Selanjutnya, dikatakan bahwa apabila kebiasaan tersebut tidak semata – mata dianggap sebagai cara perilaku saja. Akan tetapi, bahkan diterima sebagai norma – norma pngatur, maka kebiasaan tadi disebutkan sebagai mores atau tata kelakuan.


(3)   Tata Kelakuan(mores)
Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber pada ajaran agama, filsafat, nilai kebudayaan atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Tata kelakuan adalah aturan yang berlandaskan pada apa yang baik dan seharusnya dilakukan manusia. Apabila  orang melanggar kebiasaan akan dianggap aneh, tetapi kalau melanggar tata kelakuan akan disebut jahat. Contohnya adalah larangan berzinah, berjudi, minum-minuman keras, penggunaan narkoba, dan mencuri. Pelanggaran terhadap tata kelakuan ini mengakibatkan sanksi yang berat, misalnya diusir dari kampungnya sehingga mores juga disebut norma berat.
Tata kelakuan mencerminkan sifat – sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota – anggotanya. Tata kelakuan di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan dilain pihak melarangnya sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan – perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
Tata kelakuan sangat penting dalam masyarakat karena memiliki fungsi sebagai berikut yaitu:                                                      
§  memberikan batas-batas pada kelakuan individu berupa perintah dan larangan. Dalam hal ini, setiap masyarakat mempunyai tata kelakuan masing – masing yang sering kali berbeda satu dengan lainnya karena tata kelakuan timbul dari pngalaman masyarakat yang berbeda – beda dari masyarakat – masyarakat yang bersangkutan.
§  mengidentifikasikan  individu dan kelompoknya , memaksa individu untuk menyesuaikan perilakunya dengan norma yang berlaku.
§  menjaga solidaritas antar anggota masyarakat. Seperti telah diuraikan sebelumnya setiap masyarakat mempunyai tata kelakuan, misalnya perihal hubungan antara pria dengan wanita, yang berlaku bagi semua orang, dengan semua usia, untuk semua golongan masyarakat dan seterusnya. Tata kelakuan akan menjaga keutuhan dan kerja sama antara anggota – anggota masyarakat tersebut.
Tata kelakuan yang kekal serta kuat integritasnya dengan pola – pola perilaku masyarakat dapat meningkat kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat istiadat.


(4)   Adat-Istiadat (customs)
Adat istiadat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikatnya sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Contohnya adat istiadat yang berlaku di masyarakat lampung, seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya apabila terjadi perceraian maka tidak hanya bersangkutan yang tercemar namanya, tetapi seluruh keluarganya bahkan sukunya. Sanksinya berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat / sukunya  atau harus memenuhi persyaratan  tertentu, seperti upacara adat. Menurut adat istiadat mereka suatu perkawinan dinilai sebagai kehidupan bersama yang sifatnya abadi yang terputus apabila salah satu meninggal dunia. Untuk menghilangkan pencemaran nama baik diperlukan upacara adat.
Biasanya orang yang melakukan pelanggaran tersebut dikeluarkan dari masyarakat. Juga keturunannya sampai dia dapat mengembalikan keadaan yang semula.
Di samping norma - norma yang telah disebutkan di atas, dalam masyarakat masih terdapat satu jenis lagi yang mengatur tentang tindakan-tindakan yang berkaitan dengan estetika atau keindahan, seperti pakaian, musik, arsitektur rumah, interior mobil, dan sebagainya. Norma jenis ini disebut mode atau fashion.  Fashion dapat berada pada tingkat usage, folkways, mores, custom, bahkan law.

4.      Hubungan Antar Norma
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, selain diatur oleh hukum juga diatur oleh norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-kaidah lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi. Artinya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hal-hal hukum tidak mengaturnya. Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukum, misalnya “kamu tidak boleh membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama, kesusilaan, dan adat juga berisi suruhan yang sama.   
Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada larangan untuk membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk “pencurian”, “penipuan”, dan lain-lain pelanggaran hukum. Hubungan antara norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum yang tidak dapat dipisahkan itu dibedakan karena masing-masing memiliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil). Norma kesopanan sumbernya keyakinan masyarakat yang bersangkutan dan norma hukum sumbernya peraturan perundang-undangan.

C.    MORAL
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.
Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan / tingkah laku / ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan cerita - cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)

Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)


Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)

(a)   Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”[4] Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

(b)   Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik.
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

(c)    Pasca-Konvensional

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

Contoh dilema moral yang digunakan

Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam disertasi aslinya di tahun 1958. Selama kurang lebih 45 menit dalam wawancara semi-terstruktur yang direkam, pewawancara menggunakan dilema-dilema moral untuk menentukan penalaran moral tahapan mana yang digunakan partisipan. Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang membuat keputusan moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang sistematis, seperti apa yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya dilakukan, juga justifikasi seperti mengapa tindakan tertentu dianggap benar atau salah. Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan struktur dari jawaban-jawaban tersebut dan bukan pada isinya; melalui serangkaian dilema moral diperoleh skor secara keseluruhan.

Dilema Heinz

Salah satu dilema yang digunakan Kohlberg dalam penelitian awalnya adalah dilema apoteker: Heinz Mencuri Obat di Eropa.
Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat semacam kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah semacam radium yang baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. Ia membayar $200 untuk radium tersebut dan menjualnya $2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut. Suami dari perempuan yang sakit, Heinz, pergi ke setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma memperoleh $1.000, setengah dari harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan memintanya untuk dapat menjual obat dengan lebih murah atau memperbolehkan dia melunasinya di kemudian hari. Tetapi si apoteker mengatakan: “Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya akan mencari uang dari obat itu.” Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi istrinya.
Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat bagi isterinya? Mengapa
Dari sudut pandang teoretis, apa yang menurut partisipan perlu dilakukan oleh Heinz tidaklah penting. Teori Kohlberg berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah yang signifikan, bentuk dari repon mereka.
Salah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori tersebut terlalu menekankan pada keadilan dan mengabaikan norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak akan menilai secara adekuat orang yang menggunakan aspek moral lainnya dalam bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa teori Kohlberg terlalu androsentrik. Teori Kohlberg semula dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa hal tersebut membuat tidak adekuatnya teori itu dalam menggambarkan pandangan seorang perempuan. Walaupun penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya perbedaan pola yang signifikan antar jenis kelamin, teori perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan perhatiannya pada norma keadilan. Ia mengembangkan teori penalaran moral alternatif berdasarkan norma perhatian.
Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral dicapai terutama oleh penalaran formal. Salah satu kelompok yang berpandangan demikian, social intuitionists, mengemukakan bahwa orang sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan, hukum, hak asasi manusia, dan norma etika yang abstrak. Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh Kohlberg dan psikolog rasionalist lainnya dapat dianggap hanya merupakan rasionalisasi dari keputusan intuitif. Ini berarti bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap tindakan moral dibanding apa yang dikemukakan oleh Kohlberg.


  1. HUBUNGAN ANTARA NILAI DAN NORMA
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam masyarakat. Di wilayah pedesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern) adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan.  Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Nilai adalah sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh masyarakat, sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila mempunyai kegunaan, kebenaran, kebaikan, keindahan dan religiositas. sedangkan Norma merupakan ketentuan yang berisi perintah-perintah atau larangan-larangan yang harus dipatuhi warga masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai. Nilai dan norma merupakan dua hal yang saling berhubungan dan sangat penting bagi terwujudnya suatu keteraturan masyarakat. Nilai dalam hal ini adalah ukuran, patokan, anggapan dan keyakinan yang dianut orang banyak dalam suatu masyarakat. Keteraturan ini bisa terwujud apabila anggota masyarakat bersikap dan berperilaku sesuai dan selaras dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Seseorang yang ingin memenuhi kebutuhan  sosial seperti, kegiatan bersama harus memerhatikan dan melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.apabila dalam memenuhi kebutuhan tersebut mengabaikan nilai dan norma sosial yang berlaku,tentunya ketertiban dan keteraturan sosial tidak akan terwujud.
Nilai dan norma adalah dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan, karena keduanya memiliki kaitan. Norma merupakan ekspresi dan pelindung dari nilai, norma juga memiliki arti karena ada nilai dibelakangnya, namun perlu diketahui bahwa sanya norma juga dapat menyembunyikan atau mengaburkan nilai – nilai yang ada di masyarakat.
Bila nilai dan norma dilaksanakan dengan baik maka akan tercipta keteraturan. Adapun tahap-tahap keteraturan sosial itu adalah sebagai berikut :
Ø  Tertib sosial
Individu-individu dalam masyarakat bertindak sesuai hak dan kewajibannya, sesuai status yang disandangnya.

Ø  Order (ketertiban)
Norma yang berlaku diakui dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Contoh :Warga masyarakat menaati aturan kerja bakti setiap minggu.

Ø  Keajegan
Kondisi keteraturan yang tetap dan tidak berubah. Contoh : Setiap bulan konsumen/pelanggan PLN harus membayar rekening listrik. Ketentuan tersebut dilaksanakan dengan tegas sehingga tercipta keteraturan sosial.

Ø  Pola
Corak hubungan yang tetap atau ajeg dalam interaksi sosial yang dijadikan model bagi semua anggota masyarakat atau kelompok. Contoh : Musyawarah dijadikan pola untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat karena sudah teruji dalam berbagai kejadian.

  1. FILSAFAT TENTANG NILAI DALAM PENDIDIKAN
Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani “philosophia” dan “philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup. Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan hidup iku menentukan arah dan tujuan proses pendidikan. 
Oleh karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya.
Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan secara terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh keinsafan.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar belakangpribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.
Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran (sistem) suatu filsafat. Tetapi karena cara dan dasar yang dijadikan criteria dalam menetapkan klasifikasi tersebut berbeda-beda, maka klasifikasi tersebut berbeda-beda pula.
Nilai dalam filsafat pendidikan pada awalnya dibagi menjadi filsafat idealisme, realisme, pragmatisme dan eksistensialisme :
1.      Nilai Menurut Filsafat Pendidikan Idealisme
Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan bagian dari alam semesta. Plato mengemukakan bahwa kehidupan yang baik hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang baik dan ideal yang diperintah oleh “the Philopher Kings”, yaitu kaum intelektual, para ilmuwan atau cendekiawan (Kneller, 1971:33).
Dia juga mengemukakan bahwa jika manusia tahu apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, mereka tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan moral. Kejahatan terjadi karena orang tidak tahu bahwa perbuatan tersebut jahat. Jika seseorang menemukan sesuatu yang benar, maka orang tersebut akan berbuat salah. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana hal itu dapat dilakukan jika manusia memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam pikirannya tentang hidup yang baik (Sadulloh, 2007:99).
Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Idealisme juga mengatakan bahwa pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar.
Teori nilai menurut Idealisme bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik hanya bila ia secara aktif berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu. Dengan demikian posisi seseorang jelas dapat dimengerti dalam hubungannya dengan nilai-nilai itu. Dalam filsafat, misalnya agama dianggap mengajarkan doktrin yang sama, bahwa perintah-perintah Tuhan mampu memecahkan persoalan-persoalan moral bagi siapapun yang mau menerima dan mengamalkannya. Meskipun Idealisme menjunjung asas otoriter atas nilai-nilai itu, namun ia tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri yaitu memilih dan melaksanakan.
Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni Gentile yang merupakan Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Idealisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Sejak idealisme muncul sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai:
o  guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik;
o  guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa;
o  Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik;
o  Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid;
o  Guru menjadi teman dari para muridnya;
o  Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar;
o  Guru harus bisa menjadi idola para siswa;
o  Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya;
o  Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif;
o  Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya;
o  Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar;
o  Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil;
o  Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi;
o  Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.

2.      Nilai Menurut Filsafat Pendidikan Realisme
Terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa Realisme merupakan aliran filsafat yang luas dan bervariasi. Di satu pihak, realisme meliputi materialisme; di lain pihak, realisme juga meliputi pandangan yang mendekati kepada idealisme. antara lain mengidentifikasi tiga jenis realisme, yaitu realisme mekanis, realisme objektif, dan realisme pluralistik. Tampak bahwa realisme cukup rumit untuk bias dijelaskan secara ringkas dengan harapan mencakup semua jenis Realisme yang ada.
Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.
Penganut aliran realisme sependapat dengan penganut idealis bahwa nilai yang mendasar adalah pada dasarnya permanen, tapi ada juga perbedaan diantara pendapat - pendapat mereka tersebut. Realis klasik sepenedapat dengan Aristoteles bahwa ada undang-undang moral universal, tersedia untuk berbagai alasan dan mengikat pada seluruh rasional manusia.
Prinsip sederhana Realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengalaman manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Karena itu approach yang paling tetap pada nilai-nilai ialah sebagai mana approach pada pengetahuan, yakni dengan pemahaman obyektif atas peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Fakta, peristiwa itulah yang menimbulkan pertimbangan proporsional dalam ekspresi keinginan, rasa kagum, tidak suka dan penolakan. Kecenderungan approach obyektif ini yang melahirkan penyelidikan ilmiah, khususnya dalam ilmu pengetahuan sosial.
Pendidikan pada dasarnya bertujuan agar para siswa dapat bertahan hidup di dunia yang bersifat alamiah, memperoleh keamanan dan hidup bahagia. Dengan jalan memberikan pengetahuan yang esensial kepada para siswa, maka mereka akan dapat bertahan hidup di dalam lingkungan alam dan sosialnya. Pengetahuan tersebut akan memberikan keterampilan-keterampilan yang penting untuk memperoleh keamanan dan hidup bahagia. Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan para filsuf Realisme bahwa tujuan pendidikan Realisme adalah untuk ”penyesuaian diri dalam hidup dan mampu melaksanakan tanggung jawab sosial”.
Kurikulum sebaiknya meliputi: (1) sains/IPA dan matematika, (2) Ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, serta (3) nilai-nilai. Sains dan matematika sangat dipentingkan. Keberadaan sains dan matematika dipertimbangkan sebagai lingkup yang sangat penting dalam belajar. Sebab, pengetahuan tentang alam memungkinkan umat manusia untuk dapat menyesuaikan diri serta tumbuh dan berkembang dalam lingkungan alamnya. Ilmu kemanusiaan tidak seharusnya diabaikan, sebab ilmu kemanusiaan diperlukan setiap individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Kurikulum hendaknya menekankan pengaruh lingkungan sosial terhadap kehidupan individu. Dengan mengetahui kekuatan yang menentukan kehidupan kita, kita berada dalam posisi untuk mengendalikan mereka (lingkugan sosial).
Nilai-nilai dari objektifitas dan pengujian kritis yang bersifat ilmiah hendaknya ditekankan. Ketika mengajarkan nilai-nilai, sebaiknya tidak menggunakan satu metode yang normatif, tetapi menggunakan analisis kritis. Untuk mendorong kebiasaankebiasaan belajar yang diharapkan, ganjaran hendaknya diberikan ketika kebiasaankebiasaan yang diharapkan dicapai (Callahan and Clark, 1983). Para filsuf
Realisme percaya bahwa kurikulum yang baik diorganisasi menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject matter centered). Materi pelajaran hendaknya diorganisasi menurut prinsip-prinsip psikologis tentang belajar, mengajarkan materi pelajaran hendaknya dimulai dari yang bersifat sederhana menuju yang lebih kompleks. Karena masyarakat dan alam (hukum-hukum alam) mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya individu hidup untuk menyesuaikan diri dengannya, maka kurikulum direncanakan dan diorganisasikan oleh guru/orang dewasa (society centered). Adapun isi kurikulum (mata pelajaran-mata pelajaran) tersebut harus berisi pengetahuan dan nilai-nilai esensial agar siswa dapat menyesuaikan diri baik dengan lingkungan alam, masyarakat dan kebudayaannya. Sebab itu Callahan dan Clark (1983) menyatakan bahwa orientasi pendidikan Realisme memiliki kesamaan dengan orientasi pendidikan Idealisme, yaitu Essensialisme.
“Semua belajar tergantung pada pengalaman, baik pengalaman langsung maupun tidak langsung (seperti melalui membaca buku mengenai hasil pengalaman orang lain), kedua-duanya perlu disajikan kepada siswa. Metode penyajian hendaknya bersifat logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama yang diterima oleh para filsuf Realisme yang merupakan penganut Behaviorisme (Edward J. Power, 1982). Metode mengajar yang disarankan para filosof Realisme bersifat otoriter. Guru mewajibkan para siswa untuk dapat menghafal, menjelaskan, dan membandingkan fakta-fakta; mengiterpretasi hubungan-hubungan, dan mengambil kesimpulan makna-makna baru.
Evaluasi merupakan suatu aspek yang penting dalam mengajar. Guru harus mengunakan metode-metode objektif dengan mengevaluasi dan memberikan jenis-jenis tes yang memungkinkan untuk dapat mengukur secara tepat pemahaman para siswa tentang materi-materi yang dianggap esensial. Tes perlu sering dilakukan. Untuk tujuan memotivasi, para filsuf Realisme menekankan bahwa tes selalu penting bagi guru untuk memberikan ganjaran terhadap setiap siswa yang mencapai sukses. Ketika guru melaporkan prestasi para siswanya, ia menguatkan (reinforces) apa yang mesti dipelajari (Callahan and Clark, 1983).
Realis sepakat bahwa guru harus menjadi bagian dalam merumuskan nilai-nilai tertentu. Moral dasar dan standar keindahan yang diajarkan pada siswa yang tidak berdampak pada isu terkini. Anak-anak harus memahami secara jelas mengenai sifat dasar kebenaran dan salah, memberikan perhatian pada tujuan yang baik dan indah berdasarkan pada perubahan moral dan keindahan mode.
Guru adalah pengelola kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas (classroom is teacher-centered); guru adalah penentu materi pelajaran; guru harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang kongkrit untuk dialami siswa. Para siswa memperoleh disiplin melalui ganjaran dan prestasi, mengendalikan perhatian para siswa, dan membuat siswa aktif (Callahan and Clark, 1983). Dengan demikian guru harus berperan sebagai “penguasa pengetahuan; menguasai keterampilan teknik-teknik mengajar; dengan kewenangan membentuk prestasi siswa”. Adapun siswa berperan untuk “menguasai pengetahuan yang diandalkan; siswa harus taat pada aturan dan berdisiplin, sebab aturan yang baik sangat diperlukan untuk belajar, disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk berbagai tingkatan keutamaan” (Edward J. Power, 1982).
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa orientasi pendidikan Realisme memiliki kesamaan dengan orientasi pendidikan Idealisme, yaitu Essensialisme. Pendidikan Idealisme dan Realisme sama-sama menekankan pentingnya memberikan pengetahuan dan nilai-nilai esensial bagi para siswa. Namun demikian, karena kedua aliran tersebut memiliki perbedaan konsep mengenai filsafat umumnya (hakikat: realitas, pengetahuan, manusia,dan nilai-nilai) yang menjadi landasan bagi konsep pendidikannya, maka dapat dipahami pula jika kedua aliran itu tetap berbeda dalam hal tujuan pendidikannya, kurikulum pendidikannya, metode pendidikan, serta peranan guru dan peranan siswanya.

3.      Nilai Menurut Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.
Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
Menurut aliran Pragmatis, nilai adalah relatif. Etika dan moral tidaklah permanen tapi selalu berubah seperti halnya budaya dan perubahan masyarakat. Hal ini bukanlah untuk mengklaim bahwa nilai moral harus berfluktuasi dari waktu ke waktu.

4.      Nilai Menurut Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, tidak harus menjadi seseorang yang lain-daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
Kaum eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji. Baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.
Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya.
Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuannya sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.

Sedangkan dalam filsafat pendidikan modern ada empat aliran filasafat pendidikan yang paling dominan yaitu aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme :
1.     Nilai Menurut Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme berkembangan dalam permulaan abad 20 terutama di Amerika terutama sebagai lawan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan konvensional yang diwarisi dari abad kesembilan belas.
Ciri-ciri utama aliran progresivisme ialah didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri dengan skill dan kekuatannya sendiri. Pandangan-pandangan progresivisme dianggap sebagai the liberal road to culture. Dalam arti bahwa liberal dimaksudkan sebagai fleksibel, berani, toleran dan bersikap terbuka. Liberal dalam arti lainnya ialah bahwa pribadi-pribadi penganutnya tidak hanya memegang sikap seperti tersebut di atas, melainkan juga selalu bersifat penjelajah, peneliti secara kontinue demi pengembangan pengalaman. Liberal dalam arti  menghormati martabat manusia sebagai subjek di dalam hidupnya dan dalam arti demokrasi, yang memberi kemungkinan dan prasyarat bagi perkembangan tiap pribadi manusia sebagaimana potensi yang ada padanya. Sebagai konsekwensi dari pendapatnya aliran ini kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter.
Progresivisme sebagai aliran filsafat mempunyai watak yang dapat digolongkan sebagai (1) negative and diagnostic yang berarti bersikap anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala bentuk; (2) positive and remedial, yakni suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subjek yang   memiliki  potensi-potensi alamiah, terutama kekuatan self-regenerative untuk menghadapi dan mengatasi semua problem hidupnya.
Lingkungan dan pengalaman mendapat perhatian cukup dari aliran ini. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain. Di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan yang silih berganti. Memang progresivisme, kurang menaruh perhatian sama sekali atas nilai-nilai yang non empiris seperti nilai-nilai supernatural, nilai universal, nilai-nilai agama yang bersumber dari Tuhan.
Dalam pandangan progresivisme di bidang aksiologi ialah nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan. Jadi masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari individu-individu (Imam Barnddib, 1982). Nilai itu benar atau tidak benar, baik atau buruk apabila menunjukkan persesuaian dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Pandangan pendidikan progresivisme menghendaki yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli.            Menganai belajar, progresivisme memandang  peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain. Kelebihan yang bersifat kreatif dan dinamis, peserta didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problem-problemnya. Sedangkan bidang kurikulum progresivisme memandang  bahwa selain kemajuan, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya, jenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurkulum yang baik pula.
Progresivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang ke masa silam. Jika dikaitkan dengan spektrum kesejarahan, aliran ini melihat keagungan atau kecemasan masa lampau itu sebagai tamsil ibarat untuk diterjemahkan bagi masa sekarang atau masa depan. Yang baik untuk dijadikan modal perjuangan sedangkan yang kurang baik digunakan sebagai dasar untuk mencegah tidak terulangnya dikemudian hari.
Kurikulum yang dikehendaki ialah yang mempunyai nilai edukatif. Kurikulum yang disusun sedemikian rupa hingga mampu menjadi wahana pengembangan bakat pada umumnya dan kecerdasan pada khususnya dari subyek didik secara penuh. Kurikulum yang mempunyai ruang lingkup pengetahuan dan keterampilan utama yang telah lazim dikenal sebagai membaca, menulis dan arithmatika (Imam Barnadib, 1988).
Menurut Imam barnadib bahwa teori sumber daya manusia disusun atas dasar ciri-ciri pandangan yang terdapat pada progresivisme dengan dua komponen pendukungnya yaitu seleksi natural dan eksperimentalisme. Seleksi natural memberikan ciri pandangan bahwa pendidikan adalah penyesuaian, dan eksprimentasi yakni pendidikan itu mencoba, berupaya, dan berjuang. Di samping itu teori ini juga diberi warna oleh liberalisme dan pragmatisme.
Ide-ide sentral teori ini berkisar pada penerapan dari konsep-konsep rasionalitas, kebebasan, dan kesamaan. Pendidikan adalah distribusi demokratis dari rasionalitas, dengan perlakuan yang berimbang antara kebebasan dan kesamaan pada subyek didik. Yang dimaksud dengan berimbang juga antara hak dan kewajiban. Agar gagasan-gagasan tersebut dapat tercapai, kurkulum disusun hendaknya berkisar pada pengetahuan-pengetahuan dasar dengan perluasan dan pendalaman baik secara akademik maupun profesional. Selanjutnya, agar bakat dan minat subyek didik dapat dipenuhi, seyogyanya tidak diadakan pemisahan antara kurikulum akademik dan vokasional serta teknologi.

2.     Nilai Menurut Filsafat Pendidikan Esensialisme
                                    Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni idealism dan realism. Aliran ini menginginkan munculnya kembali kejaaan yang pernah diraih, sebelum abad kegelapan atau disebut “the dark middle age” (zaman ini akal terbelenggu, stagnasi dalam ilmu pengeetahuan, kehidupan diwarnai oleh dogma-dogma gerejani. Zaman renaissance timbul ingin menggantikannya dengan kebebasan dalam berpikir.
Esensialisme dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yakni ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah terbukti kebaikannya bagi kehidupan manusia, terutama zaman renaissance pada abad XI, XII, XIII dan XIV. Pada masa ini telah berkembang usaha-usaha menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan Purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi Purbakala. Zaman renaissance ini sebagai reaksi terhadap tradisi, puncaknya tumbuh individualism dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu adalah ajaran filsafat, ahli ilmu pengetahuan, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal dan monumental.
Pemikir-pemikir besar yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsfat aliran ini  terutama yang hidup pada zaman klasik seperti Plato, Aristatoles, dan Democritus.
Dalam bidang pendidikan, “fleksibilitas”dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, kurang stabil dan tidak menentu sehingga pendidikan itu kehilangan arah. Pendidikan haruslah bersendirikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan, sehingga untuk memenuhinya haruslah dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu yakni nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman renaissance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme.
Realisme, titik tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealism modern, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Brubacher memberikan ciri masing-masing:
(1)      Realisme; alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan disanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai cerminan yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik. Ini berarti bahwa anggapan-anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja, melainkan pertemuan antara keduanya.
(2)      Idealisme modern; bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomena ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran yang sumbernya adalah Tuhan.     
Menurut Imam Barnadib bahwa ciri utama esensialisme adalah pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat memenuhi hal tersebut adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini; dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas. Esensialisme merupakan suatu gerakan dalam pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Esensialisme tidak sependapat dengan pandangan progresivisme yang serba fleksibilitas dalam segala bentuk. Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dalam pemikiran pendidikan esensialisme, pada umumnya didasari atas filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan dari masing-masing ini bersifat eklektif.
Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniaan, serba ilmiah dan materialistis. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan realisme. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat (Zuharini, dkk, 1992). Johann Amos Comenius (1592-1670) sebagai salah satu tokoh esensialisme mengatakan bahwa karena dunia ini dinamis dan bertujuan, kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tugas utama pendidikan ialah membina kesadaran manusia akan semesta dan dunia, untuk mencari kesadaran spiritual, menuju Tuhan (Imam Barnadib, 2002; Mohammad Noor Syam, 19886).
Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa. Teori belajar menurut esesialisme ialah teori korenpondensi sebagai dasar. Yakni kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan dan fakta. Meskipun proses belajar dianggap bidang psikologi, tetap oleh aliran ini belajar juga dianggap sebagai masalah ontologi, epistemologi dan axiologi. Pendirian demikian berdasarkan prinsip bahwa perlu verifikasi kodrat realita yang kita pelajari (ontologi). Juga diperlukan reliabilitas pengetahuan yang dipelajari (epistemologi) dan demikian pula nilai dari realitas dan pengetahuan itu (axiologi). Pada prinsipnya proses belajar adalah melatih daya jiwa yang potensial sudah ada. Proses belajar sebagai proses menyerap apa yang berasal dari luar. Yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurkulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.
Prinsip-prisinsip pendidikan esensialisme yaitu :
(a)      pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari dalam diri siswa,
(b)      inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik. Peranan guru adalah menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia anak. Guru disiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas di atas, sehingga guru lebih berhak untuk membimbing pertumbuhan peserta didiknya. Esensialisme, menurut Imam Barnadib, bahwa guru sebagai penentu bagi pendidikan. Kedudukan guru atau pendidik demikian penting karena mereka mengenal dengan baik tentang tujuan pendidikan serta pengetahuan atau materi-materi lain.
(c)      Inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasi dan direncanakan dengan pasti oleh orang dewasa. Pandangan ini sesuai dengan filsafat realisme bahwa secara luas lingkungan material dan sosial, adalah manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup.

3.     Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.


4.     Rekonstruksianisme
Rekonstruksianisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
Mereka bercita-cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat aliran baru yang ekstrim. Ini merupakan upaya untuk merombak tata susunan kehidupan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran Progresivis.

  1. HUBUNGAN ANTARA NILAI DAN NORMA DENGAN PENDIDIKAN
1.         Syamsul Bahri, M.Pd
                                    Krisis akhlak disebabkan oleh tidak efektifnya pendidikan nilai dalam arti luas (dirumah,di sekolah,di luar rumah dan sekolah ).Karena itu,dewasa ini banyak komentar terhadap pelaksanaan pendidikan nilai yang dianggap belum mampu menyiapkan generasi muda bangsa menjadi warga Negara yang lebih baik.Memaknai hal tersebut reposisi,re-evaluasi,dan redefinisi pendidikan nilai bagi generasi muda bangsa sangat diperlukan. Inilah PR yang panjang bagi para pemikir bangsa ini untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi krisis moral para pelajar sekarang.Mencermati fenomena bangsa yang sedang dilanda krisis dan mulai menghirup udara demokrasi,maka reformasi dibidang pendidikan harus melibatkan semua komponen pendukungnya baik siswa,guru sekolah,birokrat,orang tua,seluruh lapisan masyarakatb harus bahu membahu bekerja keras untuk meningkatkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan,sehingga menghasilkan SDM yang berpengetahuan,terampil,sehat jasmani dan rohani,kreatif,inovatif,dan berbudi pekerti.Untuk itu lembaga pendidikan menempati posisi strategis,sebab baik buruknya bangsa ini tercermin dari hasil pendidikan sebelumnya.
Kiranya sangat tepat dan ideal bila mulai sekarang dimasukkan mata pelajaran  budi pekerti yang bertujuan menciptakan pelajar atau anak didik yang lebih baik. Mengenai pelajaran budi pekerti ini,dulu pernah ada,dan masih membekas dalam diri pelajar atau siswa yang pernah mengalaminya.Misalnya untuk kelas 1 (satu) Sekolah Dasar,siswa diajari bagaimana cara memegang pensil yang baik sehingga tulisannya menjadi rapi,baik,dan dapat tebaca.Kuku-kuku siswa selalu dilihat oleh guru,bila terlalu panjang langsung diberi sanksi,rambutnya yang panjang langsung dipotong.Kerapian setiap hari diperhatikan,dan seterusnya.Bahkan setiap minggu diadakan razia terhadap siswa didalam kelas,tampaknya fungsi kontrol dan pemberian sanksi langsung lebih dikedepankan sehingga anak selalu mengingat bahwa yang ini baik dan yang itu tidak baik.Di sinilah kunci pelajaran budi pekerti yaitu fungsi kontrol sejak anak usia dini. Sekarang ini yang perlu dipikirkan bersama adalah mekanisme kontrol bagaimana yang efektif untuk diterapkan pada saat ini.Maraknya tawuran pelajar yang brutal,keras dan anarkis tak luput dari lepasnya fungsi kontrol sekolah terhadap budi pekerti siswanya.Pentingnya pendidikan budi pekerti terhadap anak didik kita juga didasarkan pada pentingnya iman,akhlak dan moral.Hal ini penting sekali dalam kehidupan anak-anak didik kita terutama yang berkaitan dengan agama,setiap agama pasti mendidik agar anak-anak kita selalu bermoral baik dalam segala hal (tingkah laku).
Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan,sikap,dan keterampilan secara simultan dan seimbang.Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan,tetapi melupakan pengembangan sikap atau nilai dan perilaku dalam pembelajarannya.Dunia pendidikan sangat meremehkan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Di sisi lain,tidak mungkin bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn),Pendidikan Agama,Ilmu Pengetahuan Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada asfek kognitif daripada asfek afektif dan psikomotor.Disamping itu,penilaian dalam mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan nilai belum secara total mengukur sosok utuh pribadi siswa.Dewasa ini pelaksanaan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan Agama akan tetapi masih tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya disamping penyajian materi pendidikan moral di sekolah,tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks,dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat,sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat.Bagi para siswa,adalah lebih banyak untuk mengahadapi ulangan atau ujian,dan terlepas dari isu-isu moral esensial kehidupan mereka sehari-hari.Materi pelajaran PPKn dan Pendidikan Agama dirasakan sebagai beban,dihapalkan dan dipahami,tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan dengan menggunakan pendekatan terpadu,diperlukan adanya analisis kebutuhan(needs assessment) siswa dalam belajar pendidikan moral.Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan antara lain: (1) mengidentifikasi isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai (2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar tercapai moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral,(3) mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di rumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa,serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya,(4) mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajain dalam proses pendidikan moral,(5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.
Terkait dengan pelajaran budi pekerti ini,sebenarnya telah banyak pelajaran yang diajarkan di sekolah yang menitik beratkan pada etika moral dan adab yang santun seperti pendidikan Agama,PPKn,dan BK (Bimbingan Konseling).Tetapi itu semua telah terbukti tidak mampu membentuk budi pekerti yang baik.Karena titik berat pada pelajaran ini hanya pada nilai saja,bukan pada perilaku para siswa dalam keseharian.Oleh karena itu,apabila pelajaran budi pekerti benar-benar diterapkan di sekolah,maka penulis disini membeikan beberapa alternative pemikiran yang perlu sebagai sumbangsih, diantarnya : Penilaian harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan mempunyai kekuatan mengikat (dijadikan pertimbangan kenaikan kelas dan kelulusan) yang didasarkan pada kondisi obyektif pelajar bukan hasil menjawab pertanyaan.·
Selalu ada fungsi control yang terus menerus terhadap perilaku siswa.· Sekolah harus bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang terkait dengan budi pekerti ,dan· Guru juga harus mampu menjadi suri teladan yang baik kepada siswanya. Dengan demikian dari deskripsi di atas,pendidikan budi pekerti di sekolah menurut penulis masih sangat penting untuk diterapkan sebagai salah satu terapi dekadensi moral pelajar yang nantinya dapat menghancur leburkan tawuran,kekerasan,dan sifat anarki guna tercipta generasi atau pelajar beretika moral yang baik dan berbudi pekerti luhur.Bagaimanapun negeri ini memerlukan generasi yang cerdas,bijak dan bermoral sehingga bisa menyeimbangkan pembangunan keselarasan keimanan dan kemajuan jaman.Pertanyaannya adalah siapkah lingkungan sekolah(formal-informal),masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen bersama mendukung keinginan tersebut? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan tergantung pada moralitas generasi muda.

2.         William Chang : Pengamat sosial dari Pontianak
Konflik batin dialami sejumlah siswa SMA beberapa menit setelah mendengarkan pelajaran tentang nilai-nilai moral. Dalam ruang kelas, guru memperkenalkan dan mengajarkan nilai saling menghargai, menghormati sesama, menghindari tindak kekerasan, hidup jujur, dan berlaku adil.
Di luar kelas, mereka menyaksikan peristiwa perendahan martabat manusia, tawuran antar rekan pelajar, pemuda mengejek pemudi yang sedang lewat, tindak kekerasan oleh preman, oknum penguasa, korupsi di depan umum (bdk. Seminar Perguruan MTB "Kecerdasan Emosional dan Penanaman Nilai-nilai Moral dalam Konteks Pembelajaran Siswa"di Pontianak, 17-18/10/ 2003).
Jalan-jalan haram terus bertambah dalam proses memperkaya diri dan golongan, mulai dari "salam tempel" di jalan raya, kantor lurah, camat, bupati, dan tempat-tempat pelayanan kemasyarakatan. Tak sedikit gubernur, wali kota, bupati, dan pejabat lain yang acapkali "diperas" wartawan, LSM, dan bahkan anggota DPR(D) yang bercita-cita memperjuangkan nasib rakyat. Sebaliknya, ada juga dari sejumlah oknum pejabat yang main sogok dalam proses merebut kedudukan dalam pemerintahan.Kontradiksi dan disintegrasi antara pendidikan nilai moral di ruang sekolah (kadang nilai ini tidak pernah ditanamkan!) dan keadaan dalam masyarakat muncul karena beberapa alasan.
Pertama, penanaman nilai moral dalam dunia pendidikan formal umumnya masih berupa seperangkat teori mentah, terlepas dari realitas hidup masyarakat. Kurang digali akar terjadinya diskoneksitas antara penanaman nilai moral dan praksis hidup moral dalam masyarakat. Kedua, sebagai lembaga formal yang menyiapkan peserta didik untuk bertindak dan mentransformasi diri sesuai nilai-nilai moral, ternyata sekolah belum memiliki jaringan kerja sama yang erat dengan keluarga asal peserta didik, lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan seluruh masyarakat. Ketiga, adanya kesenjangan pandangan hidup antara mereka yang menjunjung tinggi dan melecehkan pesan moral dalam hidup sosial sehari-hari. Masih tumbuh subur kelompok sosial yang menghalalkan dan merestui segala cara dan jalan mencapai sasaran yang digariskan.
Setelah tampil sebagai sistem pendidikan terbaik se-Inggris tahun 2002, Burnmouth kembali menggarisbawahi pentingnya jaringan kerja sama antarunsur dunia pendidikan formal, nonformal, dan informal. Program dalam dunia pendidikan formal akan "berhasil" jika didukung unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Tanpa kerja sama dan dukungan antaranasir sosial terkait, sosialisasi nilai-nilai moral sering mendapat kendala. Lembaga apa pun di masyarakat, entah milik pemerintah atau nonpemerintah, perlu mendukung perwujudan nilai-nilai moral yang disemai melalui dunia pendidikan formal. Perilaku yang korup, tak bertanggung jawab, dan manipulatif dengan sendirinya mengkhianati kaidah moral yang ingin diperkenalkan dunia pendidikan formal.
Nilai-nilai moral yang perlu disosialisasikan dan diterapkan di masyarakat kita dewasa ini umumnya mencakup: Pertama, kebebasan dan otoritas: kebebasan memiliki makna majemuk dalam proses pendidikan formal, nonformal, dan informal. Selama hayat dikandung badan, tak seorang pun memiliki kebebasan mutlak. Manusia perlu berani untuk hidup dan tampil berbeda dari yang lain tanpa melupakan prinsip hidup dalam kebersamaan. Kebebasan manusia pada hakikatnya bukan kebebasan liar, tetapi kebebasan terkontrol. Kebebasan tanpa tanggung jawab mengundang pemegang roda pemerintahan dalam republik ini untuk menyelewengkan kuasa mereka demi kepentingan terselubung mereka. Kekuasaan yang seharusnya diterapkan adalah kekuasaan nutritif yang menyejahterakan hidup rakyat banyak;
Kedua, kedisiplinan merupakan salah satu masalah akbar dalam proses membangun negara ini. Kedisiplinan rendah! Sampah bertebaran, para pemegang kuasa menunjukkan posisi mereka dengan menggunakan "jam karet", aturan lalu lintas tak pernah sungguh-sungguh ditaati, tidak sedikit polantas hanya duduk-duduk di bawah pondok di sudut dan mengintai pelanggar lalu lintas; kedisiplinan mengatur lalu lintas memprihatinkan; banyak oknum disiplin dalam tindak kejahatan, seperti korupsi; kedisiplinan dalam penegakan hukum positif terasa lemah sehingga kerusuhan sosial sering terulang di beberapa tempat. Ketiga, nurani yang benar, baik, jujur, dan tak sesat berperan penting dalam proses sosialisasi nilai moral dalam negara kita. Hati nurani perlu mendapat pembinaan terus-menerus supaya tak sesat, buta, dan bahkan mati. Para pemegang roda pemerintahan negara kita, para pendidik, peserta didik, dan seluruh anasir masyarakat seharusnya memiliki hati nurani yang terbina baik dan bukan hati nurani "liar" dan sesat. Keadaan sosial negara kita kini adalah cermin hati nurani anak-anak bangsa. Penggelapan dan permainan uang oleh pegawai-pegawai pajak, "pembobolan" uang di bank menunjukkan nurani manusia yang kian korup (bdk. John S Brubacher, Modern Philosophies of Education, New York: McGraw-Hill Book Company, 1978).
Ternyata bukan tanpa halangan untuk menjalankan pendidikan nilai-nilai moral di tengah kurikulum pendidikan formal yang terasa "mencekik". Bagaimanakah seorang pendidik bisa menanamkan nilai moral dalam sebuah kurikulum demikian? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, terbuka peluang bagi pendidik untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai moral di bidang pelajaran yang dipegang selama ini. Kedua, pendidik bisa menyisipkan ajaran tentang nilai moral melalui mitos-mitos rakyat. Ketiga, kejelian/kreativitas pendidik menggali identitas nilai moral.
Jelas, penanaman nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan formal sama sekali tak bersifat otonom, tetapi selalu terkait dunia lain di luar lingkaran dunia pendidikan formal. Lingkungan keluarga, pengusaha, RT, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, penagih pajak, imigrasi, polisi, tentara, jaksa, pengadilan (negeri, tinggi), Mahkamah Agung, kabinet, dan presiden seharusnya memiliki dan menghidupi perilaku yang benar-benar mendukung proses penanaman, penerapan, dan sosialisasi nilai-nilai moral yang digalakkan para pendidik.Pemerintah dan masyarakat diharapkan menjadi sekolah yang dapat mensosialisasikan (terutama dalam arti menghidupi) pendidikan nilai-nilai moral.

3.         Drs. Trisnahada, M.Pd.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi secara menyeluruh dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan sikap serta perilaku. Maka, masyarakat pun dapat bersikap krisis terhadap erosi nilai, moral dan norma  serta dehumanisasi. Saat ini terjadi krisis kepercayaan, krisis kualitas kemandirian atau krisis karakter, krisis nilai yang menjadi pegangan dan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Djahiri, 2008).
Melihat gejala kurang baiknya moral dewasa ini, kemerosotan nilai akhlak sudah benar-benar mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan (Nata, 2001:189). Lebih mengkhawatirkan lagi, kemerosotan nilai akhlak bukan hanya menimpa kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan, kedudukan dan profesinya, melainkan juga telah menimpa kepada para pelajar tunas muda yang diharapkan dapat melanjutkan perjuangan dengan jujur membela kebenaran, keadilan dan perdamaian masa depan.
Ini berarti pembelajaran di sekolah harus dapat membekali siswa, di samping aspek pengetahuan, sikap, juga nilai iman dan takwa. Dengan demikian, siswa dapat berkesempatan menggunakan dan mengomunikasikan nilai yang menjadi keyakinannya melihat alam semesta untuk berperilaku yang baik dan jujur sesuai dengan nilai, moral, dan norma di masyarakat.
Winescoff merumuskan enam tujuan pendidikan nilai. Pertama, membantu siswa mengembangkan perangkat nilai umum yang akan membantu membimbing mereka menuju kehidupan. Kedua, membantu siswa lebih memahami siapa mereka dan buat apa mereka hidup. Ketiga, membantu siswa menjadi warga negara yang lebih baik, yang secara aktif berpartisipasi dalam proses pemerintahan. Keempat, melatih bagaimana mengonfirmasikan aturan, perundang-undangan dan nilai kemasyarakatan yang berlaku. Kelima, membantu siswa mengembangkan urutan keterampilan berpikir yang lebih tinggi dan proses menganalisa segala hal yang berkaitan dengan masalah nilai, baik perorangan, masyarakat, nasional maupun internasional.Keenam, membantu siswa mengembangkan nilai moral ke tingkat lebih tinggi melalui restrukturisasi kognitif menuju nilai universal tentang keadilan. Melalui pengajaran pendidikan nilai dalam pembelajaran di kelas, diharapkan dalam diri anak tertanam sikap dan perilaku yang baik. Bukan berarti bahwa selama ini sikap dan perilaku siswa itu tidak baik, akan tetapi sikap tersebut harus dimunculkan oleh anak didik dalam perilakunya di sekolah, keluarga, dan masyarakat secara berkelanjutan dan kesadaran yang tinggi, tanpa harus selalu ada dalam pengawasan orang dewasa (guru dan orang tua atau yang lainnya).
Nilai yang diberikan kepada siswa dalam pembelajarannya bukan untuk mengubah nilai karakter siswa, tetapi untuk membantu mengembangkan pribadi anak yang sadar norma. Anak memahami batas norma, dan mampu berperilaku sesuai dengan batas norma tersebut. Dengan kata lain, anak dapat mengendalikan diri dalam perilaku yang menyimpang dari ketentuan norma, dan bersungguh-sungguh melakukan perbuatan yang dituntut norma.
Dari uraian di atas, arah sasaran pendidikan nilai yang akan dicapai melalui pembelajaran di kelas yang menyertakan penanaman nilai karakter kejujuran dalam membina disiplin dan kemandirian siswa yang akan diberikan kepada siswa adalah sebagai berikut:
(1)          Upaya di sekolah, keluarga, dan di Kelas membina, menanamkan dan melestarikan nilai, moral dan norma luhur pada diri peserta didik dan kehidupannya.
(2)          Meningkatkan dan memperluas tatanan nilai dan keyakinannya.
(3)          Membina dan meningkatkan jati diri peserta didik /masyarakat/bangsa.
(4)          Menangkal, memperkecil dan meniadakan nilai moral yang negatif.
(5)          Membina dan mengupayakan ketercapaian nilai moral dan norma yang diintegrasikan dengan mata pelajaran.
(6)          Mengklarifikasikan dan mengoperasionalkan nilai, moral dan norma dalam kehidupan sehari-hari.
(7)          Mengklarifikasi dan mengkaji keberadaan nilai, moral dan norma dalam diri peserta didik dan kehidupannya.
Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dick & Carey (Depdiknas, 2008:4) menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa. Strategi pembelajaran merupakan hal yang perlu di perhatikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Paling tidak ada 3 jenis strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yakni (a) strategi pengorganisasian pembelajaran, (b) strategi penyampaian pembelajaran, dan (c) strategi pengelolaan pembelajaran.
Salah satu cara mengembangkan nilai yang ada pada siswa adalah dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan langsung, sehingga diharapkan dapat menemukan konsep atau prinsip moral yang positif. Keterlibatan siswa merupakan faktor penting, karena moralitas tidak dapat dijadikan secara langsung dengan ceramah.
Model yang akan menjadi pelengkap dari pengembangan strategi penanaman nilai karakter kejujuran pembelajaran. Pertama, klarifikasi nilai yang dikembangkan oleh Djahiri (1996). Model ini memiliki keunggulan pada pencapaian target hasil belajar siswa yang dapat dimiliki. Model Klarifikasi nilai ini juga memperhatikan aspek keterampilan proses. Kedua, model Analisis Nilai untuk pengembangan selanjutnya, karena model tersebut memiliki keunggulan yang mampu merangsang siswa untuk melakukan analisis nilai moral. Ketiga, model pembelajaran ‘ibrah. Keunggulan model ini pada upaya pembinaan nilai karakter kejujuran yang bersumber dari agama Islam. Model ini sudah sangat lazim digunakan pada tradisi pendidikan Islam untuk menanamkan nilai keimanan melalui objek materi pembahasan termasuk berupa ciptaan-ciptaan Allah.
Dari pengembangan beberapa model tersebut sebagai bahan penyempurnaan pada strategi pembelajaran di sekolah, secara konseptual merupakan perpaduan antara model teoritik dari model pembelajaran analisis nilai, klarifikasi nilai. Di mana orientasi model sebagai pola penanaman nilai karakter kejujuran dalam membina disiplin dan kemandirian ini menekankan perlunya keterampilan proses pada pencapaian tujuan target nilai dan sikap (akhlak) yang harus dikembangkan kepada siswa.
Program sekolah yang menyangkut pembinaan dan penanaman nilai kejujuran bagi siswa harus tersedia secara khusus dan dilakukan secara sistematis dan terencana. Program itu diimplementasikan pada setiap pembelajaran, sehingga guru harus lebih banyak diarahkan kepada kemampuan  kognitif, afektif, dan psikomotor siswa yang menunjang program sekolah dalam rangka mencapai ketuntasan minimal. Selain itu, kompetensi guru. Hubungannya dengan ini, tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya.
Dari faktor tersebut yang paling berpengaruh terhadap kualitas sikap ilmiah dan perilaku siswa adalah faktor guru. Karena, gurulah yang paling berkuasa mengelola dan menciptakan kondisi kelas sebagai wahana tumbuh dan berkembangnya sikap berpikir ilmiah, kritis dan perilaku siswa. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan kemampuan sikap ilmiah dan perilaku siswa untuk jujur, disiplin dan mandiri, diperlukan kajian yang menggagas inovasi model pembelajaran berupa strategi belajar dan mengajar.
Dengan mengembangkan strategi pembelajaran yang efektif dengan menyertakan penanaman nilai karakter kejujuran merupakan kemampuan sikap ilmiah dan perilaku yang baik dapat dimiliki siswa secara optimal. Jika harapan ini dapat terwujud dalam setiap pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas dan di luar kelas, setidaknya akan menjadi konstribusi yang berarti bagi masyarakat, bahkan bangsa dan negara yang sedang dilanda masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berkarakter jujur dalam berperilaku, disiplin dalam beraktifitas dan mandiri dalam bekerja.
Pelaksanaan pembelajaran yang telah dikembangkan ini didasarkan pada desain model pembelajaran yang telah disusun. Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah ini, terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Adapun pendekatan dan strategi yang digunakan dalam pelaksanaan pengajaran di kelas, yaitu menggunakan model analisis nilai dan klarifikasi nilai. Dalam pendekatan ini, siswa dibina kesadaran emosional nilainya melalui cara yang kritis rasional dengan klarifikasi dan menguji kebenaran, kebaikan, keadilan, dan lain-lain dalam kehidupan atau pengalamannya sehari-hari. Target nilai karakter inilah yang akan menuntun proses atau kegiatan belajar mengajar serta penentuan pilihan stimulus. Wujud pengarahan menuju target tersebut, dilakukan guru melalui berbagai upaya dan di antaranya ialah melalui pertanyaan nilai. Dan ini melahirkan tuntutan lain lagi bagi setiap guru dalam mengajarkan nilai kejujuran ialah keharusan mahir dalam bertanya (keterampilan bertanya).
Untuk pembinaan disiplin dan kemandirian siswa sebagai refleksi dari penanaman nilai kejujuran adalah: Belajar dan bekerja secara teratur, tertib, dan bertanggung jawab. Mematuhi ketentuan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Menghindari diri dari tindakan dan perbuatan yang bersifat plin plan atau tidak konsekuen. Taat terhadap orang tua, guru dan tata tertib sekolah. Tidak terlambat dan mengerjakan tugas sekolah tepat pada waktunya.





                                                                  PENUTUP                                  
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggapa buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut oleh masyarakat.
Nilai memiliki banyak sifat dan ciri – ciri, dan berdasarkan ciri – cirinya tersebut nilai dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu nilai dominan dan nilai mendarah daging (internalized value ). Sedangkan berdasar kan sifatnya nilai dibagi menjadi empat yaitu : nilai etika, nilai estetika, nilai agama dan nilai sosial.
Nilai berhubungan erat dengan kegiatan manusia untuk menilai. Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya kemudian diambil suatu keputusan. Keputusan nilai dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar dan baik atau buruk. Penilaian ini dihubungkan dengan unsur – unsur atau hal yang ada pada manusia, seperti jasmani, cipta, karsa, rasa dan keyakinan. Sesuatu dipandang bernilai karena sesuatu itu berguna, maka disebut nilai kegunaan, bila benar dipandang bernilai disebut nilai kebenaran, baik dipandang bernilai maka disebut nilai etis (moral). Oleh karena itu, nilai itu memiliki polaritas dan hierarki. Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat terhadap sesuatu obyek.
Dari gambaran hierarki nilai dapat disimpulkan bahwa nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak bagi manusia. Terdalam dalam arti lebih hakiki dan lebih bersifat kepentingan – kepentingan transenden dalam bentuk – bentuk ideal yang dapat dipikirkannya, sedangkan nilai yang semakin rendah lebih bersifat sementara, tergantung pada indrawi manusia dan lebih bersifat pragmatis untuk memuaskan jasmani manusia (atau dalam bahasa agama memuaskan nafsu semata).
Norma merupakan hasil cipta manusia sebagai makhluk sosial untuk mengatur hubungan sosial agar dapat berlangsung dengan lancar sehingga menimbulkan suasana yang harmonis. Di dalam kehidupan masyarakat, norma berisi tata tertib, aturan, petunjuk standar mengentai perilaku yang pantas atau wajar. Pelanggaran terhadap norma akan mendatangkan sanksi, dari bentuk cibiran atau cemoohan sampai ke sanksi fisik dan psikis berupa pengasingan atau di usir. Norma merupakan bentuk nilai yang disertai dengan sanksi tegas bagi pelanggarnya. Norma merupakan ukuran yang dipergunakan oleh masyarakat apakah perilaku seseorang bernar / salah, sesuai / tidak sesuai, wajar / tidak, dan diterima atau tidak. Norma dibentuk di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial. Nilai dan norma merupakan hal yang berkaitan. Norma adalah bentuk konkret dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Misalnya, nilai menghormati dan mematuhi orang tua diperjelas dan dikonkretkan dalam bentuk norma-norma dalam bersikap dan berbicara kepada orang tua. Nilai-nilai sopan santun di sekolah dikonkretkan dalam bentuk tata tertib sekolah. Jadi, pengertian norma adalah patokan-patokan atau pedoman untuk berperilaku di dalam masyarakat.
Didalam kehidupan masyarakat terdapat beberapa macam norma - norma (aturan - aturan) yang mengatur perilaku anggota masyarakat,yaitu : norma agama, norma kesusilaaan, norma kesopanan, norma kebiasaan dan norma hukum. Dilihat dari tingkat sanksi atau kekuataan daya pengikatnya, norma - norma sosial dibagi menjadi tata cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), adat - istiadat (customs), dan hukum (laws).
Nilai adalah sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh masyarakat, sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila mempunyai kegunaan, kebenaran, kebaikan, keindahan dan religiositas. sedangkan Norma merupakan ketentuan yang berisi perintah-perintah atau larangan-larangan yang harus dipatuhi warga masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai. Nilai dan norma merupakan dua hal yang saling berhubungan dan sangat penting bagi terwujudnya suatu keteraturan masyarakat. Nilai dalam hal ini adalah ukuran, patokan, anggapan dan keyakinan yang dianut orang banyak dalam suatu masyarakat. Keteraturan ini bisa terwujud apabila anggota masyarakat bersikap dan berperilaku sesuai dan selaras dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Seseorang yang ingin memenuhi kebutuhan  sosial seperti, kegiatan bersama harus memerhatikan dan melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.apabila dalam memenuhi kebutuhan tersebut mengabaikan nilai dan norma sosial yang berlaku,tentunya ketertiban dan keteraturan sosial tidak akan terwujud.
Nilai dan norma yang ada dimasyarakat terbentuk dari proses pendidikan. Baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan sekitarnya. Norma dan nilai yang ada dalam diri seorang individu akan mmempengaruhi interaksinya dengan individu lainnya. Norma dan nilai seharusnya menjadi fenomena perilaku yang baik.  Misalnya musyawarah mufakat untuk mengambil suatu kebijakan . Tidak seperti yang kita saksikan saat ini, misalnya demo, tawuran sehingga menelan korban. Perilaku yang baik di masyarakat sangat mungkin terjadi jika keluarga, dunia pendidikan, dan seluruh lembaga pemerintah bersatu padu menggalang kekuatan untuk menggiring generasi muda menjadi insan yang bernilai baik . Sebab perilaku baik hanya ada dalam masyarakat yang baik.
Salah satu cara mengembangkan nilai yang ada pada siswa adalah dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan langsung, sehingga diharapkan dapat menemukan konsep atau prinsip moral yang positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Keterlibatan siswa merupakan faktor penting, karena moralitas tidak dapat dijadikan secara langsung dengan ceramah.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar